Ketika saya
naik ojek online tempo hari, sambil pakai helm hijau saya sempat mikir, “Abang
ini narik berapa order hari ini ya? Terus setelah bensin, makan, rokok, servis motor
sisanya berapa?” Nah, dari rasa penasaran ini kita bakal bahas tentang arus
uang di balik ride-hailing motor alias saat kita pesan ojek lewat aplikasi,
siapa yang dapat duitnya, siapa yang kerja kerasnya di jalan.
Terus saya mikir juga: kalau driver mendapat sekitar Rp 20.000 per order
(contoh angka yang sering kita denger), lalu bagaimana kondisi keuangannya
setelah biaya-biaya operasional? Dan di sisi lain, bagaimana perusahaan
ride-hailing tersebut (“platform”) menghasilkan uang dari order yang driver
jalankan? Nah, inilah yang kita kupas dalam artikel ini dengan gaya santai tapi
tetap serius soal keuangan: kita akan melakukan hitung keuangan ojol dari sisi
driver dan perusahaan.
Gambaran Ekonomi
Digital Ojol di Indonesia 2025 dan Cara Sistem Pendapatannya Bekerja
Sebelum masuk
angka-angka, kita mulai dari gambaran besar supaya pembaca paham skala dan
konteksnya.
Siapa “ojol” dan bagaimana sistemnya
“Ojol” alias
ojek online adalah pengemudi motor yang bergabung dengan platform aplikasi
seperti Gojek, Grab, dan lainnya. Mereka bukan pegawai tetap perusahaan,
melainkan mitra atau driver freelance yang menerima order lewat aplikasi,
bekerja sesuai jam dan area masing-masing. Dari berbagai survei: pendapatan
harian driver bisa sangat bervariasi tergantung kota, platform, jam kerja, dan
banyak lagi.
Skala transaksi dan “volume” di platform
Platform-platform besar ini
mendapatkan banyak order setiap hari dari jutaan pengguna. Karena model
bisnisnya berbasis “volume” makin banyak order yang lewat aplikasi, makin besar
potensi pendapatan perusahaan. Di sisi driver, tugasnya adalah menyelesaikan
banyak order untuk menghasilkan penghasilan yang layak.
Misalnya, satu driver yang bisa menyelesaikan puluhan order dalam sehari
memiliki peluang untuk memperoleh pendapatan yang lebih besar dibanding yang
hanya beberapa order.
Kenapa penting untuk “hitung keuangan ojol”?
Karena di
permukaan angka Rp 20.000 per order terdengar simpel dan lumayan tapi kalau
kita tarik ke belakang, setelah dikurangi biaya operasional, potongan
perusahaan, waktu tunggu order, jam kerja, kondisi cuaca, dan lain-lain, hasil
akhirnya bisa jauh dari yang kita kira. Maka dengan “hitung keuangan ojol”,
kita bisa membuka tabirnya: bukan hanya jumlah order, tapi berapa yang
benar-benar diterima driver, dan bagaimana perusahaan mengambil bagian dari
tiap transaksi.
Ngitung Kasar Pendapatan Driver: Keliatannya Banyak,
Tapi…
Sekarang kita
masuk ke bagian di mana kita “menghitung” secara kasar dan realistis untuk
memahami situasi driver.
Simulasi sederhana (contoh angka)
Misalnya kita
ambil angka hipotesis: driver menerima Rp. 20.000 per order
(ingat: ini angka contoh agar mudah dihitung). Jika driver berhasil
menyelesaikan 10 order sehari, maka secara kasar pendapatan kotor
adalah:
10 × Rp 20.000 = Rp 200.000
per hari
Kalau bekerja 30 hari dalam
sebulan (asal kondisinya serupa setiap hari), maka:
30 × Rp 200.000 = Rp 6.000.000
per bulan (kotor)
Terdengar lumayan, bukan? Tapi
tunggu dulu…
Potongan & biaya operasional yang sering terlupakan
Dalam
kenyataan: ada banyak biaya dan variabel yang harus dikurangkan dari angka
kotor tersebut, antara lain:
- Bensin / BBM harian. Jika sehari digunakan banyak
order + jarak jauh, bisa Rp 40.000-60.000 atau lebih.
- Makan/minum dan istirahat driver di luar misalnya Rp
20.000-30.000 sehari.
- Rokok, jika kebiasaan bisa tambahan Rp 10.000-20.000
atau lebih.
- Servis motor / ban / oli / perawatan kendaraan ini
sering dilakukan berkala, tetapi jika dibagi harian, menjadi beban
tambahan.
- Waktu tunggu order (idle time) atau order dibatalkan
selama itu driver tetap menunggu, tapi tak memperoleh pendapatan.
- Potongan atau biaya aplikasi/komisi yang platform
ambil – misalnya sebuah studi menyebut potongan bisa 20% atau lebih dari
tarif dasar.
Jadi kalau
kita ambil angka kasar: dari Rp 200.000 kotor, misalkan kita potong biaya
harian Rp 80.000 (BBM, makan, rokok, dsb), maka efektif sehari menjadi:
Rp 200.000 - Rp 80.000 = Rp
120.000 bersih harian
Dan per bulan:
Rp 120.000 × 30 = Rp 3.600.000 bersih/minggu kasar (jika setiap hari
kerja)
Tapi tentu ini
skenario ideal banyak driver tidak bisa setiap hari 10 order, atau kondisi
jalan/kemacetan/curah hujan mengganggu.
Realita yang dilaporkan
Menurut survei dari beberapa
sumber:
- Seorang artikel menyebut bahwa driver di platform
besar bisa mendapat harian Rp 100.000 ke atas.
- Ada yang melaporkan pendapatan harian Rp 150.000-Rp
200.000 untuk driver tertentu.
- Namun ada juga laporan bahwa setelah biaya
operasional sebenarnya, beberapa driver hanya memperoleh pendapatan bersih
yang jauh lebih rendah atau bahkan tidak jauh berbeda dengan Upah Minimum
Provinsi (UMP) setempat.
Jadi memang:
angka kotor seperti “Rp 20.000 per order” atau “10 order sehari” terdengar
mudah, tapi banyak variabel yang membuat hasil akhirnya bisa jauh dari
perkiraan.
Lalu, Perusahaan Dapat Berapa dari Setiap Order?
Sekarang
giliran kita melihat sisi perusahaan: setelah driver menerima order, berapa
yang “tersisa” untuk platform aplikasi? Mari kita buka secara kasar.
Model bisnis platform dan potongan dari driver
Platform seperti Gojek atau Grab
menggunakan model kemitraan: driver adalah mitra, bukan pegawai. Platform
menyediakan aplikasi, sistem algoritma, koordinasi order, branding, marketing,
layanan pelanggan, dan infrastruktur. Sebagai imbalannya, platform mengambil potongan
atau komisi dari tiap transaksi.
Beberapa studi menyebut bahwa potongan bisa di kisaran 20% dari tarif
perjalanan.
Contoh: jika tarif perjalanan seorang pengguna adalah Rp 20.000, dan potongan
platform adalah 20%, maka:
Potongan perusahaan = 20% × Rp
20.000 = Rp 4.000
Sisanya untuk driver sebelum potongan-operasional = ~Rp 16.000
Perusahaan tak hanya dari potongan per perjalanan
Tapi perusahaan platform tidak
“hanya” untung dari potongan tersebut. Ada pendapatan lain:
- Iklan/promosi merchant (restoran, toko, layanan)
yang muncul di aplikasi.
- Kemitraan dan fee dari merchant (misalnya ketika
layanan antar-makanan atau belanja online).
- Data dan analitik pengguna yang bisa dimonetisasi
secara tidak langsung.
- Bonus/subsidi yang mereka keluarkan untuk menarik
pengguna, namun dari skala besar ini mereka bisa mencapai efisiensi.
Karena volume order sangat besar, bisnis skala bisa makin menguntungkan.
Skala dan keuntungan: volume membuat perbedaan
Karena platform besar memiliki
jutaan pengguna dan ribuan, ratusan ribu driver, potongan kecil per order jika
dikali jutaan order per hari menjadi angka yang signifikan bagi perusahaan.
Misalkan: jika 100.000 order per hari dikalikan potongan Rp 4.000 → Rp 400
juta/hari dari potongan saja. Dalam sebulan angka bisa miliaran rupiah.
Ditambah pendapatan tambahan dari iklan, kemitraan, dan lain-lain.
Jadi secara keuangan, perusahaan lebih “aman” dari sisi skala besar dibanding
driver yang tergantung jam kerja, kondisi jalan, biaya operasional sendiri.
Perspektif Keuangan, Siapa
Sebenarnya yang Untung?
Kalau dilihat sepintas, baik
driver maupun perusahaan sama-sama “dapat uang”. Tapi kalau kita pakai kacamata
hitung keuangan ojol, ternyata struktur keuntungannya sangat berbeda.
Driver bergantung pada waktu dan
tenaga
Driver hanya bisa menghasilkan
uang selama dia beroperasi di jalan. Artinya, pendapatan mereka
tergantung langsung pada:
- Jumlah order yang masuk
- Jam kerja harian
- Cuaca dan kondisi lalu lintas
- Biaya bensin dan perawatan motor
Kalau lagi sepi order atau cuaca
buruk, pendapatan otomatis turun. Jadi mereka hidup dari “cash flow harian”,
bukan dari sistem pendapatan jangka panjang. Gampangnya, kalau hari ini nggak
narik, ya nggak ada uang yang masuk.
Perusahaan bergantung pada
volume dan data
Sedangkan perusahaan aplikasi
punya model yang jauh berbeda. Mereka tidak perlu narik motor, nggak mikir
bensin, dan nggak harus panas-panasan di jalan. Mereka hidup dari sistem dan
data.
Model bisnisnya bersandar pada:
- Volume transaksi: makin banyak order, makin besar
potongan yang didapat.
- Ekosistem digital: semakin banyak pengguna aktif,
semakin mudah untuk menjual iklan, promosi, dan kerja sama dengan
merchant.
- Data pengguna: mereka tahu pola konsumsi, area
ramai, jam sibuk dan itu sangat bernilai dalam dunia digital.
Dalam istilah keuangan,
perusahaan hidup dari “nilai jaringan” (network effect). Artinya, setiap
pengguna baru meningkatkan nilai platform secara eksponensial. Ini yang bikin
valuasi perusahaan ride-hailing bisa miliaran dolar, walau belum tentu mereka
untung besar secara kas operasional.
Contoh Nyata: Simulasi Uang
Mengalir dari Satu Order
Agar lebih gampang dibayangkan,
yuk kita ambil contoh konkret:
Simulasi satu order perjalanan
Misalnya seorang pelanggan
memesan perjalanan sejauh 5 km dengan tarif Rp 20.000.
- Pelanggan bayar Rp 20.000 via e-wallet di aplikasi.
- Platform menerima dana itu dulu (uang masuk ke
sistem).
- Dari Rp 20.000 itu, platform mengambil potongan 20%
→ Rp 4.000.
- Sisanya Rp 16.000 ditransfer ke akun driver.
Tapi driver masih harus
menanggung:
- Bensin Rp 10.000
- Makan/rokok Rp 10.000
- Biaya kecil lain (servis, cicilan, dll) kalau
dirata-rata per order Rp 2.000
Maka margin bersih per order bisa
cuma Rp 4.000 (atau bahkan kurang!).
Jadi dari satu perjalanan, perusahaan dapat Rp 4.000 tanpa keluar bensin,
sedangkan driver dapat Rp 4.000 setelah semua tenaga dan biaya.
Inilah realitas ekonomi platform
yang sering luput dari perhatian banyak orang.
Antara Kagum dan Iba – Realita
Dua Dunia
Setelah kita “hitung keuangan
ojol” secara sederhana, muncul perasaan campur aduk.
Di satu sisi, sistem ini luar
biasa
Platform seperti Gojek dan Grab
berhasil menciptakan lapangan kerja baru yang fleksibel, cepat, dan berbasis
teknologi. Ribuan orang bisa memperoleh penghasilan hanya dengan modal motor
dan smartphone.
Selain itu, masyarakat juga sangat terbantu dari antar makanan, kirim barang,
sampai transportasi harian.
Kalau dilihat dari sisi inovasi ekonomi digital, ini langkah maju besar bagi
Indonesia.
Tapi di sisi lain, ada
ketimpangan yang tak kasat mata
Banyak driver merasa sistemnya
tidak sepenuhnya adil. Potongan besar, insentif yang menurun, dan biaya hidup
yang makin tinggi bikin margin makin tipis.
Perusahaan tumbuh cepat karena punya data dan sistem yang kuat, sedangkan
driver harus terus bekerja lebih keras untuk mengejar penghasilan yang sama.
Refleksi pribadi
Kadang saat saya lihat driver
berhenti di pinggir jalan buat istirahat, saya jadi kepikiran:
“Seberapa banyak tenaga yang dia habiskan untuk uang segitu?”
Tapi di sisi lain, saya juga kagum semangat kerja mereka luar biasa, tanpa
mengeluh, terus ngejar rezeki halal.
Di sinilah pentingnya kita
memahami uang bukan cuma soal angka, tapi juga soal nilai dan perjuangan di
baliknya.
Pandangan Keuangan Lebih Luas, Apa yang Bisa Kita Pelajari?
Setelah menelusuri keuangan ojol,
kita bisa ambil beberapa pelajaran penting soal pola ekonomi modern.
1. Sistem efisien tidak selalu
adil
Platform digital menciptakan
efisiensi luar biasa, tapi sering kali distribusi pendapatannya tidak seimbang.
Efisiensi bukan berarti keadilan ini pelajaran penting buat siapa pun yang
mau membangun bisnis digital.
2. Tenaga kerja masa kini makin
fleksibel
Era digital membawa tren kerja
“gig economy” di mana pekerja seperti driver ojol tidak punya jam tetap, tapi
juga tidak punya jaminan finansial jangka panjang.
Artinya, literasi keuangan pribadi jadi hal yang makin penting agar mereka
bisa mengelola pendapatan yang fluktuatif.
3. Kesadaran finansial untuk
semua pihak
Kita sebagai pengguna juga punya
peran. Saat pakai layanan ojol, sadarilah bahwa di balik kemudahan itu ada
perjuangan manusia dan arus uang yang kompleks.
Dan kalau kamu seorang driver, penting juga untuk belajar soal pengelolaan uang
digital, seperti panduan e-wallet lengkap, agar keuangan lebih
tertata dan tidak bocor.
Uang Bukan Sekadar
Angka, Tapi Cerita Perjuangan
Kalau dirangkum, hitung
keuangan ojol ini membuka mata kita bahwa uang di dunia digital punya dua
sisi:
- Di satu sisi, ada peluang besar dan sistem yang
efisien.
- Di sisi lain, ada perjuangan panjang di balik setiap
rupiah yang dihasilkan di jalan.
Perusahaan bisa untung besar
karena bermain di skala dan sistem, sedangkan driver harus bertahan di lapangan
dengan margin kecil.
Namun, keduanya tetap saling butuh. Tanpa driver, aplikasi hanyalah ikon di
layar. Tanpa aplikasi, driver kehilangan pasar.
Maka, di tengah semua ini, semoga
kita bisa lebih menghargai setiap perjalanan kecil yang mereka lakukan.
Dan kalau kamu tertarik mengatur keuangan lebih baik, baik sebagai pengguna
maupun driver, pelajari juga panduan e-wallet lengkap agar kamu
tahu ke mana uangmu benar-benar mengalir.
FAQ – Pertanyaan yang Sering
Diajukan
Q: Berapa rata-rata pendapatan bersih driver ojek online per hari?
A: Tergantung lokasi dan jumlah order, rata-rata bisa di kisaran Rp 80.000–Rp 150.000 bersih setelah dipotong bensin dan biaya operasional.
Q: Apakah perusahaan ojek online benar-benar untung besar?
A: Secara potongan per order mungkin kecil, tapi karena volumenya jutaan transaksi per hari, total pendapatannya besar. Namun operasional dan promosi juga mahal.
Q: Kenapa banyak driver masih bertahan?
A: Karena fleksibilitas kerja dan pendapatan harian tunai. Walau margin kecil, tetap jadi sumber penghasilan utama bagi banyak orang.
Q: Apa pelajaran utama dari hitung keuangan ojol?
A: Bahwa uang bukan hanya soal berapa yang didapat, tapi bagaimana sistem membaginya — siapa yang kerja keras, siapa yang punya sistem, dan bagaimana kita bisa lebih bijak melihat nilai di balik setiap rupiah.
